Belakangan, sistem pendidikan di negeri ini sering mengalami perubahan. Bahkan ada kesan bahwa setiap pergantian menteri pendidikan selalu ada perubahan sistem “menurut selera sang menteri”. Secara kasat mata, hal ini mencerminkan bahwa di negeri ini tidak pernah ada yang namanya program kerja jangka panjang yang menjadi rel utama. Dengan kata lain, bangsa ini tidak pernah punya visi dan misi yang jelas dalam sistem pembangunannya. Terlebih lagi, bidang pendidikan yang merupakan pondasi utamanya, jika tidak dipikirkan secara serius sebagai program jangka panjang maka hal itu akan membawa dampak sangat buruk bagi kelangsungan pembangunan negeri ini. Untuk itu, perlu dipikirkan bersama format yang paling tepat dan berkesinambungan bagi sistem pendidikan ke depan.
Konsep Pendidikan
Pendidik dan peserta didik adalah dua pelaku utama dalam proses pendidikan. Dalam konsep belajar konvensional, pendidik seringkali dipandang sebagai sumber utama belajar dan memiliki sejumlah kewajiban untuk “menguasai semua materi pembelajaran” yang siap diberikan kepada para peserta didik. Pada kerangka ini, peserta didik lebih dipandang sebagai pihak penerima yang sengaja datang ke sekolah untuk “menampung” beragam bentuk pembelajaran dan bimbingan dari pendidik. Dengan demikian, peserta didik dapat diibaratkan seperti bejana kosong yang siap diisi.
Konservatisme budaya dalam dunia pendidikan yang demikian seringkali terbukti telah menciptakan lingkungan belajar yang kurang bersahabat bagi para peserta didik. Dan lagi, situasi tersebut justru dipicu oleh pihak pendidik sendiri, seperti halnya seorang guru yang bermaksud ingin menjaga kewibawaannya, tapi selanjutnya justru menciptakan benteng yang menjadikan peserta didik takut untuk berkomunikasi aktif. Dampak dari situasi semacam ini begitu jelas terlihat sangat buruk bagi perkembangan peserta didik.
Adalah John Dewey, yang pada zamannya ia berusaha mendobrak sistem pendidikan yang dipandang mengkerdilkan potensi tersebut dengan konsep pembelajaran progresif. Ia memandang, proses pendidikan yang dilakukan secara aktif dan lebih menghargai keragaman serta melibatkan semakin banyak warga masyarakat justru akan lebih mendorong proses perkembangan cara berpikir kritis. Proses pendidikan yang demikian menurutnya lebih tepat, dengan alasan bahwa proses ini merupakan salah satu bentuk konkrit penghormatan terhadap kemampuan masing-masing siswa, bakat, kebutuhan, kepentingan dan identitas budaya. Dengan kata lain, teori pendidikan progresif meyakini bahwa sistem pendidikan yang demokratis dan suasana belajar yang terbuka akan mendorong siswa untuk lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan dan berpikir kritis terhadap lingkungan mereka, demikian halnya materi pendidikan akan lebih berhasil bagi proses pendidikan. Singkatnya, dalam pemikiran Dewey, pembelajaran progresif adalah konsep pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa belajar terjadi secara bertahap melalui penemuan dan pengalaman. Menurutnya, konsep pendidikan progresif ini mencakup pendidikan anak secara keseluruhan. Ruang kelas terbuka, pembelajaran kooperatif, pendekatan multi usia, kurikulum sosial dan pendidikan pengalaman adalah beberapa contoh dari teori pendidikan progresif tersebut.
Meskipun banyak hal-hal baik yang dapat dipetik, namun demikian konsep pendidikan progresif ini bukan tanpa kelemahan. Salah satu hal yang paling menonjol bahwa pendekatan multi usia hampir tidak mungkin dapat diterapkan dalam sistem pendidikan formal berjenjang. Dengan demikian, sedikit banyak dapat dipahami bahwa meskipun Dewey dikenal sebagai pakar pendidikan dari Amerika, namun ternyata di Amerika sendiri, pendidikan progresif yang ia lahirkan tidak pernah menjadi metode yang paling populer, meskipun telah ada sejak 1900an.
Situasi Pendidikan di Indonesia
Dewasa ini pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi tema utama yang banyak dibicarakan dalam konteks pembangunan bangsa. Di satu sisi, hal ini mencerminkan adanya keseriusan pergulatan pemikiran bangsa ini terhadap dunia pendidikan yang berangkat dari kepedulian terhadap etika moral. Namun di sisi lain, pendidikan budi pekerti kembali menjadi topik utama lebih dikarenakan urgenitas menanggapi situasi bangsa ini yang semakin carut-marut dan nilai-nilai etika yang dirasa sangat merosot tajam, sehingga dimunculkan lagi wacana pendidikan budi pekerti tersebut.
Jika menilik perjalanan sejarahnya, sebenarnya sejak akhir tahun 1960an, tema-tema yang bernuansa etika ini telah mulai mendominasi dunia pendidikan Indonesia. Dengan berlakunya kurikulum tahun 1968 yang berlangsung sampai pada pertengahan tahun 1980an, hal itu menunjukkan keseriusan bangsa ini untuk mengalirkan arus pemikiran yang bernuansa etika melalui pendidikan budi pekerti.
Ironisnya, ketika memasuki pertengahan tahun 1980an sampai akhir 1990an, sejalan dengan warna keagamaan yang mengusung nilai-nilai religius dirasa sangat mendominasi sistem pendidikan nasional, lambat namun pasti pendidikan budi pekerti justru semakin tersisih dan seakan-akan menghilang dari dunia pendidikan Indonesia.
Pada era Orde Baru, pendidikan budi pekerti juga dipandang telah terkontaminasi dengan doktrin-doktrin versi Soehartois yang lebih ditujukan untuk mengebiri warga bangsa ini pada norma-norma ideologis. Meski menyematkan kata Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan, namun pada prosesnya hal itu tidak lebih dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan melenceng dari penjagaan kemurnian nilai dasar Pancasila.
Ketika Era Orde Baru berakhir dan beralih ke masa reformasi, tampaknya bangsa ini semakin kehilangan arah dalam usahanya memajukan dirinya. Pendidikan kita dirasa masih berkutat pada proses pembentukan ketaatan, keseragaman budaya warga, dan tidak mengasah para peserta didik untuk berpikir kritis. Pada masa itu, dirasa ada tekanan besar bagi sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga terampil yang akan mendukung sektor ekonomi industri. Sekarang pun, kondisi itu sebenarnya tidak jauh berbeda, dalam sistem pendidikan kita masih banyak kontaminasi dari beragam sistem pendidikan yang diserap dari bangsa-bangsa lain yang dipandang maju tanpa adanya proses penyesuaian dengan situasi budaya dan kebutuhan yang ada. Terlebih lagi saat harus berhadapan dengan kemajuan teknologi dan pesatnya perkembangan informasi yang datang dari luar, sistem pendidikan kita terlihat semakin kedodoran untuk menyamakan langkah dengan negara-negara lain. Sehingga sistem pendidikan kita yang memiliki keinginan untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain seringkali kehilangan pegangan roh yang berakar pada budayanya sendiri. Dampak yang muncul dari sistem ini sangat terasa, antara lain semakin tersisihnya nilai-nilai budaya dan etika perilaku pada generasi sekarang. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya intervensi dari bidang ekonomi yang lebih menitik beratkan pada kebutuhan sektor industri.
Belakangan ini, tampaknya bangsa ini mulai menyadari keadaannya dan kembali berusaha mencari nilai-nilai dasarnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencari format yang tepat untuk diterapkan di negeri ini dalam upaya pembangunan bangsa.
Kembali ke Roh Asali
Perlu ada kesadaran bersama, bahwa pendidikan bukan sebatas menyampaikan pengetahuan yang telah diketahui dan keterampilan yang telah dikuasai. Tetapi lebih jauh, pendidikan harus pula mampu merancang berbagai kecakapan kognitif, afektif, dan psikomotorik, termasuk juga mengembangkan berbagai jenis penguasaan ketrampilan untuk masa yang akan datang.
Singkatnya, pendidikan harus mencerahkan. Artinya, pendidikan harus mampu mengubah manusia yang belum dewasa menjadi pribadi yang matang. Pribadi yang matang adalah ia yang mampu menggunakan pemahamannya sendiri tanpa bergantung pada pihak lain. Hal ini persis seperti yang dinyatakan oleh Emanuel Kant, “Sapere Aude!” (berani tahu!). Bahwa, syarat utama untuk benar-benar menjadi pribadi yang matang, tidak lain adalah dengan memiliki keberanian untuk menggunakan pemahaman diri sendiri! Berani untuk berpikir mandiri! Selanjutnya, haruslah disadari pula bahwa tak ada hal lain yang diperlukan untuk mencapai pencerahan kecuali kebebasan. Adapun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan menggunakan akal budi!
Kerangka pemikiran demikian sebenarnya secara jelas telah tercermin dalam konsep Panca Dharma yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Pertama, asas kodrat alam; Asas ini berkaitan dengan hakikat dan kedudukan manusia sebagai makhluk hidup di dunia, agar senantiasa mengatur dan menempatkan diri dalam hubungannya yang harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar. Kedua, asas kemerdekaan; Inti dari pandangan ini adalah bahwa manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan bebas merdeka, dalam arti memiliki hak asasi yang bersifat asli untuk hidup dan menyelenggarakan kehidupannya. Tak seorangpun bisa memaksakan kehendak atau kekuasaanya terhadap orang lain, yang berarti menodai kebebasan individu manusia di muka bumi ini. Ketiga, asas kebudayaan; salah satu ciri dari kemajuan individu atau masyarakat dapat dilihat dari corak dan mutu kebudayaan yang berhasil diciptakan dan sekaligus merupakan bagian integral dari realitas kehidupan individu atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, bagi suatu bangsa, sangat penting sekali adanya usaha memelihara dan mengembangkan budidaya individu dan masyarakatnya. Dengan demikian, menjadi salah satu pembentuk identitas bangsa sekaligus pembeda dengan bangsa lain. Kebudayaan suatu bangsa juga merupakan cermin kemajuan dan keberhasilan bangsa itu sendiri. Keempat, asas kebangsaan; sudah sedemikian lazimnya bahwa setiap bangsa di dunia ini mencintai dan memegang teguh ikatan kenegaraan dan kebangsaannya. Hal yang demikian ini bukanlah buruk, karena di sana terkandung realitas dan makna persatuan sebagai modal keberhasilan perjuangan bangsa. Tanpa adanya kebanggaan akan identitas kebangsaan, jelas tidak mungkin dicapai keberhasilan dan persatuan, bahkan sebaliknya bisa mengarah kepada pertikaian antar kelompok tertentu atau malah kehancuran bangsa itu sendiri. Kelima, asas kemanusiaan; seluruh dharma, usaha atau pengabdian manusia di tengah perjalanan hidup ini, pada hakikatnya adalah untuk kepentingan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagai layaknya manusia baik secara individual maupun sosial, ia akan berupaya sekuat tenaga agar hajat dan kebutuhan hidup manusiawinya terpenuhi secukupnya. Selama kebutuhan manusiawi tersebut belum terpenuhi, maka perjuangan akan terus berlangsung. Padahal, kebutuhan manusiawi jenis dan ragamnya banyak sekali, termasuk di dalamnya pemenuhan harkat kemanusiaan.
Ki Hajar Dewantara menyebut Panca Dharma sebagai haluan, tekad, niat, dan kemauan, untuk diamalkan oleh semua pihak yang terlibat di dalam kegiatan kependidikan. Secara tegas beliau menyatakan bahwa “Bekal-bekal untuk hidup lahir dan batin cukuplah manusia dapatkan dari kodrat alam. Perkembangan jiwa raga haruslah dilindungi kemerdekaan agar tidak menyalahi kodrat hidup manusia dan semua itu menuju ke arah kebudayaan. Kebudayaan yang sejati adalah yang pada lingkaran pertama tercermin dari hidup kebangsaan yang selanjutnya meningkat dan meluas sebagai sifat kemanusiaan.”
Secara lebih sederhana, aplikasi pemikiran Ki Hajar Dewantara dapat dipahami dari semboyan “Ing Ngarsa Sing Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Artinya, seorang pendidik hendaknya mampu menjadi panutan dengan memberi teladan hidup baik, membangun kehendak dan berkolaborasi, serta membimbing para peserta didik tanpa merampas kemerdekaan berekspresi.
Dengan ini, sebenarnya roh yang menghidupi sistem pendidikan kita sudah ada sejak dulu. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa aplikasi penjabarannya sekarang justru mengacu pada sistem pendidikan dari bangsa lain yang belum teruji kesesuaiannya dengan situasi bangsa ini? Upaya pengembangan itu sah-sah saja, tapi hendaknya para petinggi di negeri ini tidak meninggalkan Roh asalinya. Untuk itu, rasanya tidaklah berlebihan bila kemudian dikatakan bahwa pertama-tama kita perlu melakukan “rekonsiliasi pendidikan” dan kembali pada semangat awal yang selama perjalanannya hingga kini telah mengalami banyak ujian. (Krisnu, Staff Pendidikan)